Diberdayakan oleh Blogger.

PEGATURAN JIZYAH (PAJAK KAUM NON MUSLIM) OLEH PEMIMPIN ISLAM

Jumat, 06 September 2013

PEGATURAN JIZYAH (PAJAK KAUM NON MUSLIM) OLEH PEMIMPIN ISLAM*


Perintah Pengambilan Jizyah dari Orang Kafir
Telah menceritakan kepada Yazid bin harun dari Abu Malik al-Astaja’i dari ayahnya, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan dia ingkar terhadap peyembahan selain dari-Nya, maka darah dan hartanya telah menjadi haram dan terjaga, sedangkan hisab amalnya diserahkan kepada Allah.”
Abu ubaid berkata, “Hadits ini ditegaskan oleh Rasullah ketika awal permulaan kedatangan Islam dan sebelum surat Bara’ah dan diperintahakan menerima jizyah, terdapat di dalam firman Allah,
sampai mereka membayar jizyah (Pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (At-taubah: 29)
Ayat ini diturunkan pada akhir periode kehidupan Nabi SAW. Abu Ubaid berkata, ” dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”, terdapat tiga pendapat ulama. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “Ann Yadin” adalah secara kontan dan langsung. Sebagian mereka berpendapat bahwa mereka mesti berjalan kaki. Dan, sebagian lagi berpendapat bahwa mereka mesti menyerahkan jizyah itu dalam keadaan berdiri.”
Dari Mujahid mengenai firman Allah, Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (at-Taubah: 29)
Dia berkata, “Ayat ini diturunkan ketika Rasulullah dan para sahabatnya diperintahkan untuk memerangi tabuk.” Dia juga berkata, “Dab saya pernah mendengar Husyim berkata, “Tabuk adalah akhir peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah.”
Dari Mujahid mengenai firman Allah, “Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka(an-‘Ankabuut: 46)
Dia berkata, “Orang-orang yang memerangi dirimu dan dia tidak menyerahkan jizyahkepadamu.”
Abu Ubaid berkata, “Kemudian surat-surat Rasulullah dikirimkan kepda peguasa dan lainya. Baginda mengajak mereka memeluk agama Islam. Jika mereka enggan memeluk agama Islam, maka wajib membayar jizyah.  Ini salah satu wasiat Rasulullah kepada para tentaranya yang dikirim keberbagai penjuru.”
Rasulullah menulis surat yang ditujukan kepada al-Mundzir bin sawi, “Salam sejahtera kepadamu. Sesungguhnya aku memuji kepada Allah yang tiada tuhan selain daripada-Nya. Amma ba’du. Barangsiapa yang mengerjakan shalat yang telah kami lakukan, menghadap kiblat kami dan memakan daging sembelihan kami, maka adalah orang muslim yang telah mendapatkan jaminan Allah dan Rasululllah-Nya. Barangsiapa yang menginginkan yang demikian dari kalangan Majusi, maka dia telah mendapatkan jaminan keamanan. Barangsiapa yang enggan, maka wajib membayar jizyah.”
Dari al-Hasan, dia berkata, “Rasulullah telah memerintahkan memerangi bangsa Arab sehingga mereka masuk ke dalam agama Islam dan segala bentk tawaran tidak diterima dari mereka selain masuk ke dalam agama Islam. Rasulullah juga telah memerintahkan supaya memerangi ahli kitab sehingga mereka memeberika jizyah secara kontan sedangkan mereka dalam keadaan hina.”
Pengambilan jizyah dilakukan oleh pemrintah Islam melalui petugas yang diberi wewenang oleh pemimpin untuk mengambil jizyah. Jizyah diambil dari orang kafir baik ahli kitab,  penyembah berhala, atau selain Islam.
Hukuman Bagi yang Tidak Membayar Jizyah dan Melanggar Perjanjian
Rasulullah menulis surat dan mengirimkan kepada penduduk Yaman, “Barangsiapa yang memeluk agama Yahudi dan agama Nasrani, maka tidak boleh dipaksa keluar agamanya. Akan tetapi, dia hanya berkewajiban memebayar jizyah. Bagi lelaki dan wanita yang telah mencapai usia baligh, budak lelaki atau budak wanita wajib membayar pajak sebanyak satu dinar atau dengan membayar dengan barang pakaian yang senilai dengannya. Barangsiapa yang telah melakukan yang demikian itu kepada utusanku, maka dia telah mendapatkan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya. Barangsiapa yang enggan dan mencegah pembayaran, maka dia adalah musuh Allah, Rasulul-Nya dan seluruh orang yang beriman.”
Abu Ubaid berkata, “Abu Bakar juga telah menerima jizyah dari penduduk al-Hirah. Yaitu ketika Khalid ibnul Walid menaklukkan daerah itu secara damai. Ia mengirimkan jizyah  itu kepada Abu Bakar dan dia pun menerimanya. Penduduk al-Hirah adalah gabungan dari keturunan bangsa arab, yaitu dari Tamim, Thayi’, Ghassan, Tannukh, dan lain-lainnya. Hadits ini juga telah diceritakan kepadaku oleh Ibnu al-Kalbi dan juga lainya.”
Dari Humaid bin Hilal bahwa Khalid ibnul Walid telah memerangi penduduk al-Hirah setelah kewafatan Rasulullah, lalu penduduk al-Hira telah mengadakan kesepakatan perjanjian perdamaian dan akhirnya mereka tidak memerangi lagi.
Abu Ubaid mengatakan bahwa tindakan yang serupa telah dilakukan oleh Umar kepada bani Taghlib.
Dari Dawud bin Kurdus, dia berkata, “Aku telah megadakan perjanjian perdamaian dengan Umar bin Khaththab mengenai perkara yang terjadi di kalangan bani Taghlib. Yaitu setelah mereka berhasil memutuskan pengaliran sungai Furat dan mereka ingin menyebrang ke negeri Roma. Perdamaian itu disepakati dengan syarat bahwa tidak boleh mengubah agama  anak-anak mereka, tidak boleh memaksa masuk agama lain dan mereka berkewajiban membayar pajak pajak pajak secara berlipat ganda mulai dari angka puluhan. Yaitu, setiap orang yang memiliki dua puluh dirha, maka dia mesti membayar satu dirham sebagai pajak dan seterusnya. Maka bani Taghlib tidak memiliki jaminan keamanan, sebab mereka telah mengubah agama anak-anak mereka.”
Abu Ubaid mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan “mengubah agama anak-anak mereka” adalah mengbah agama dan memasukkan anak-anak mereka ke dalam agama Nasrani.
Dari Zur’ah ibnun-Nu’man atau an-Nu’man bin Zurah bahwa dia pernah bertanya kepada Umar ibnul Khaththab. Dia telah membicarakan mengenai persoalan bani Taghlib. Sementara Umar berkeinginan mengambil jizyah  dari mereka. Lalu mereka banyak yang melarikan diri keseluruh plosok negeri. An-Nu’man atau Zur’ah ibnu Nu’man berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya bani Taghlib juga termasuk bangsa Arab. Mereka sangat enggan membayar jizyah,ditambah lagi mereka adalah orang yang tidak memiliki harta kekayaan. Mereka hanyalah orang yang memiliki profesi bercocok tanam dan pengembala. Mereka sangat handal dalam peperangan dan strategi untuk melawan mereka. Oleh karena itu, jangalah engkau meminta bantuan kepada mereka untuk memerangi musuhmu.”
Lalu Umar ibnul Khaththab mengadakan perjanjian damai bersama mereka, tetapi dengan syarat melipatgandakan pembayaran zakat ke atas mereka dan mereka tidak boleh memasukkan anak-anak mereka kedalam agama nasrani. Mughirah berkata, “Aku telah diceritakan bahw Ali pernah berkata, ‘Jika aku mendapat tugas untuk mengatasi persoalan bani Taghlib, aku mempunyai pendapat yang khusus mengatasi mereka. Aku akan memerangi pasukan mereka dan aku akan menawan anak keturunan mereka. Sebab, mereka telah melanggar perjanjian dan jaminan keamanan telah hilang dari mereka, ketika mereka telah memasukkan anak-anak mereka ke dalam agama Nasrani.”
Dari Ziayad bin Hudair bahwa Umar telah memerintahkan suapaya memungut pajak dari kalangan bani taglib sebanyak sepersepuluh dan dari kalangan penganut agama nasrani(ahl kitab) sebanyak seperlima.
Dari asy-Sya’bi bahwa Abu Bakar telah megutus Khalid ibnul Walid, dan memerintahakan untuk bejalan sampai al-Hirah, kemudian melanjutkan ke asy-Syam. Lalau berjalanlah Khalid samapai di Hirah. Asy-Sya’bi berkata, “Khalid ibnul Walid mengeluarkan surat kepdaku, ‘Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid Ibnul Walid untuk Marazibah (sebutan ketua bagi orang-orang Persia), keselamatan bagi siapa saja yang mau mengikuti petunjuk, sesungguhnya aku memuji Allah dan tiada tuhan selain Dia. ‘Amma ba’du...., segala puji bagi Allah yang telah membinasakan khidmatmu, memecahbelahkan persatuanmu, melemahkan kekuatanmu, dan merampas hartamu kekayaanmu. Apabila suratku ini telah sampai ke tanganmu, maka yakinlah aku akan menanggung kesalamatanmu dan mewajibkan jizyah atasmu, oleh karena itu, kirimkan utusanmu kepadaku. Jika tidak, demi Allah yang tiada tuhan melainkan-Nya, aku akan membinasakan kamu sekalian dengan bala tentara yang lebih mencintai maut sebagai mana kamu mencintai kehidupan. Wassalam.”
Kesimpulanya adalah bagi orang-orang kafir yang enggan membayar jizyah  maka oleh pemerintah Islam akan diperangi dan dicabut jaminan keamanan bagi mereka sampai ada perjanjian baru bahwa mereka akan membayar Jizayah. Bila diantara kamun kafir dan muslim melanggar perjanjian seperti yang telah dipaparkan dalam kasus bani Taghlib maka mereka (orang kafir) membayar jizyah secara dilipatgandakan dari ketentuan awal dan Zakat bagi kaum muslimin juga akan dilipatgandakan. Atau mereka yang melanggar perjanjian diperangi.
Orang kafir yang enggan dan mencegah membayar jizyah maka mereka itu menjadi mushuh Allah, Rasul-Nya, dan seluruh kaum muslimin. Hal ini yang disampaikan oleh Rasulullah dalam suratnya kepada penduduk Yaman, dll. “Barangsiapa yang enggan dan mencegah pembayaran, maka dia adalah musuh Allah, Rasul-Nya dan seluruh orang yang beriman.”
Manfaat Jizyah Bagi Orang-orang Kafir
1.    Mendapat Jaminanan oleh Allah dan Rasulullah
Rasulullah menulis surat dan mengirimkan kepada penduduk Yaman, “Barangsiapa yang memeluk agama Yahudi dan agama Nasrani, maka tidak boleh dipaksa keluar agamanya. Akan tetapi, dia hanya berkewajiban memebayar jizyah. Bagi lelaki dan wanita yang telah mencapai usia baligh, budak lelaki atau budak wanita wajib membayar pajak sebanyak satu dinar atau dengan membayar dengan barang pakaian yang senilai dengannya. Barangsiapa yang telah melakukan yang demikian itu kepada utusanku, maka diatelah mendapatkan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya. Barangsiapa yang enggan dan mencegah pembayaran, maka dia adalah musuh Allah, Rasul-Nya dan seluruh orang yang beriman.”
Jaminan orang yang membayar jizyah yang Allah dan Rasul-Nya adalah jaminan haram atas jiwanya, hartanya, darahnya, dan keluarganya. Artinya seorang muslim atau pemerintah telah melindungi jiwanya, hartanya, darahnya, dan keluarganya dari gangguan dari orang lain.
2.    Jaminan Keamanan
Bagi orang-orang kafir yang membayar jizyah yang telah ditentukan besarnya atasnya. Maka mereka mendapatkan jaminan keamanan dari kaum muslimin atau pemerintah. Dan Islam telah mengharamkan hartanya, jiwanya, dan darahnya dari kaum lain.
3.    Santunan Kepada orang-orang Kafir yang Lemah
Dari Jisr Abi Ja’fa, dia berkata, “Aku telah menyasikan kitab Umar bin Abdul Aziz kepada Uday bin Arthah (yang dibacakan keapda kita semasa di Bashrah), ‘Amma ba’du, sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengambil jizyah (dari orang yang menginginkan Islam sebagai pelindungannya dan lebih memilih kufur sebagai suatu kerugian yang nyata bagi mereka, satu kewajiban jizyah) terhadap orang-orang yang sanggup membayarnya. Dan, mereka memiliki bangunan di atas bumi ini karena hal tersebut untuk kebaikan kehidupan kaum muslimin dan kekuatan mereka menghadapi musuh. Lihatlah pada orang-orang sebelummu dari ahli dzimmah yang telah berusia lanjut, dan lemah tidak berdaya, mereka diberi santunan oleh kaum muslimin melalui harta mereka di Baitulmal untuk mencukupi kemaslahatan mereka. Jika seseorang laki-laki dari kaum muslimin yang telah berusia lanjut dan lemah tidak berdaya, maka ia lebih berhak mendapatkan bantuan dari harta kaum muslimin. Karena telah disampaikan kepdaku bahwa Amirul Mukminin Umar pernah melewati seorang syekh dari ahli dzimmah meminta-minta di setiap pintu rumah kaum muslimin. Dia berkata, ‘Apa yang membuatmu seperti ini? Sesunggunya kami telah mengambil jizyah darimu sewaktu kamu muda dan kami telah menghapuskan kewajiban tersebut pada masa usiamu telah lanjut.’ Kemudian Umar memberikan apa-apa yang dia perlukan dari baiitulmal.”

Orang-orang kafir yang telah membayar jizyah atau yang belum dalam keadaan lemah atau fakir. Maka itu menjadi tanggungjawab pemerintah untuk menyantuni apa yang dibutuhkan. Santunan tersebut diambil dari baitulmal yang dananya tersebut tidak diambil dari dana zakat.

Orang yang Diwajibkan membayar Jizyah dan Yang Tidak
Dari Aslam (maula Umar) bahwa Umar menulis surat kepada komandan tentara agar mereka berperang di jalan Allah, dan tidak membunuh orang, kecuali orang yang berniat membunuh mereka, tidak boleh membunuh wanita dan juga anak-anak kecil. Juga tidak boleh membunuh mereka, kecuali orang yang telah ditetapkan keputusan atasnya. Dia juga menuliskan kepada mereka, ‘untuk mewajibkan jizyah atas mereka, dan tidak mewajibkan bagi wanita dan anak-anak kecil. Juga tidak mewajibkannya, kecuali kepada orang yang telah menggunakan pisau cukur untuk memotong kumisnya,”
Hadits ini merupakan dasar keterangan kepada siapa berlakunya ketentuan jizyah, dan kepada siapa tidak diberlakukan. Tidakkah engkau lihat bahwa ia diwajibkan atas laki-laki yang sudah baligh, dan bukan atas anak-anak dan wanita? Hal tersebut karena dahulunya ketentuan yang wajib atas mereka adalah hukuman mati jika jizyah tidak diberlakukan, dan digugurkan dari orang-orang yang tidak berhak menerima hukuman mati, yaitu keluarga mereka sendiri yang terdiri dari anak-anak dan istri mereka.
Dalam surat Rasulullah kepada Mu’adz di Yaman mengatakan bahwa setiap orang laki-laki yang baligh diwajibkan atasnya satu dinar, yang merupakan keterangan yang menguatkan perkataan Umar. Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi SAW mengkhususkan laki-laki dewasa tanpa mengikutkan anak-anak dan wanita?
Dari Amru bin Maimun bahwa dia melihat Umar (sebelum kewafatannya empat hari) berdiri atas keledainya dan berkata kepada Hudzaifah ibnul Yaman dan Utsman bin Hunaif, “Lihat! Apa yang kalian miliki! Lihat, adakah kamu berdua telah menetapkan kepada orang-orang suatu yang dapat mereka pikul?” Utsman berkata, “Aku mewajibkan atas mereka suatu yang kalau aku lipatgandakan atas mereka tentu mereka akan kewalahan.” Hudzaifah berkata, “Aku mewajibkan kepada mereka sesuatu yang tidak berlebih-lebihan.” Kemudian disebutkan kisah pembunuhan Umar hingga akhir hadits di dalam yang panjang lebar menjelaskan hal tersebut.
Abu Ubaid berkata, “Beginilah mazhab kami dalam ­al-jizyah dan al-kharaj, yang berdasarkan pada kemampuan dari ahli dzimmah, tanpa memberatkan mereka sama sekali, juga tidak merusak keselamatan kaum muslimin dan tidak ada waktu didalamnya. Tidakkah engkau lihat bagaimana Rasulullah mewajibkan kaum Yaman satu dinar atas setiap laki-laki yang baligh, didalam hadits atau surat yang beliau SAW kirimkan kepada Mu’adz yang telah sebutkan sebelumnya, sementara nilai satu dinar pada saat itu sekitar sepuluh atau dua belas dirham? Ini selain dari diwajibkan Umar atas ahli asy-Syam dan ahli Irak. Dia menambahkan kepada mereka sesuai dengan kemampuan dan kemudahan mereka, sebagimana yang telah diriwayatkan dari mujahid.”
Aku bertanya kepada Mujahid, “Mengapa Umar meletakkan jizyah atas ahli asy-Syam lebih banyak daripada ahli Yaman?” Dia menjawab, “Untuk kemudahan.”
Abu Ubait berkata, “Kami memilih untuk melebihkan mereka sebagaimana kami juga mengurangi sebagian mereka. Dilebihkan berdasarkan tugas yang lebih banyak dari Rasulullah dan kelebihan yang lainnya dia ditambahkan sendiri dari 48 menjadi 50.”
Menurut Abu Ubaid, jika salah seorang dari mereka tidak sanggup membayar satu dinar, sampai orang-orang meriwayatkan akan hal tersebut dan syek mereka akan memberikan pertolongan dari Baitulmal, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz yang senantiasa menanyakan dari pintu ke pintu siapa yang tidak sanggup membayar.
Kesimpulan dari apa yang diaparkan diatas, jizyah hanya diwajibkan kepada laki-laki yang sudah baligh. Untuk anak-anak dan wanita tidak ada kewajiban untuk membayar jizyah dan tidak ditarik jizyah. Jizyah dipungut dengan melihat kondisi suatu kaum dan bagi orang kafir yang didalam keadaan Fakir (tidak sanggup membayar) tidak ditarik jizyah. Bahkan seorang yang fakir ditangguhkan kebutuhannya dari baitulmal.
Pengambilan Jizyah dan Kharaj, Perintah untuk Berlemah Lembut dan Larangan Bersikap Kasar kepada Mereka.
Sa’id Amir bin Hudzaim mendatangi Umar ibnul Khaththab ketika dia didatangin oleh seorang dari Darrah. Sa’id berkata, “Air hujan telah mendahului perjananmu. Jika engkau dihukum kita akan bersabar, jika engkau baik-baik saja kita akan bersyukur, dan jika engkau dicela kita akan mencela mereka.” Umar berkata, “Tidak ada yang wajib kaum muslimin, kecuali ini. Mengapa engkau melambatkan al-kharaj?” Dia berkata, “Kami diperintahkan untuk tidak melebihi para petani dari 4 dinar dan kami tidak akan melebihi akan melebihi mereka dari ketentuan tersebut. Tapi, kami melambatkan samapai pada masa tenggang mereka.” Umar berkata, “Jaganlah engkau melenyapkan apa yang aku hormati.” Abu Mushir berkata, “Tidaklah bagi ahli Syam hadits mengenai al-kharaj selain ketentuan ini.”
Abu Ubaid mengatakan bahwa sesungguhnya dilambatkan sampai pada masa senggang mereka adalah untuk kemudahan bagi mereka. Dan, dia tidak mendengar ada waktu tertentu dalam al-kharaj dan jizyah  dalam pengambilanya selain dari hadits ini.
Ali bin Abi Thalib menggunakan seorang laki-laki untuk menghadapi Ukbari, dia berkata kepadanya di antara kepala-kepala suku, “Jangalah kamu meninggalkan satu dirham dari al-kharaj dari mereka.” Kemudian Ali menguatkan perkataannya dan berkata, “Jumpailah aku pada pertangahan siang nanti.” Lalu dia pun mendatangi Ali dan berkata, “Dahulu aku memerintahkan suatu perkara kepadamu dan sekarang aku datang kepadamu. Jika engkau melanggar perintahku, maka aku akan mencopot jabatanmu. Jangalah engkau menjual seekor keledai ataupun seekor sapi kepada mereka sebagai kharaj dan juga pakaian musim dingin maupun pakaian musim panas, berlemah lembutlah kepada mereka dan lakukan ini kepada mereka.”
Kesimpulan dari riwayat diatas bahwa dalam pemungutan jizayah dan kharaj haruslah berlemah lembut tanpa ada kekerasan. Namun bila mereka dalam keadaan menolak membayar atau menolakjizayah dan kharaj maka akan diperangi sampai mereka mau membayar. Tetapi, jika mereka meminta ditanguhkan karena dalam tidak bisa membayar jizayah dan kharaj maka haruslah ditoleransi tanpa ada tambahan.


* Dirangkum dari kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid terjemah Eklopedia Keuangan Publik penerjemah Setiawan Budi Utomo bab Jenis Harta yang dikelola oleh pemimpin berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah pembahasan Jizyah.

PEMBAGIAN ZAKAT SECARA MERATA DI ANTARA ASNAF YANG DELAPAN

Sumber: [1]
Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila engkau telah menyerahkan zakat harta kepada salah satu di antara asnaf  yang delapan, maka yang demikian itu sudah diperbolehkan (sah).”
Hajajj berkata, “Saya pernah bertanya kepada Atha’ mengenai hal demikan itu. Ia berkata, ‘Boleh-boleh saja.”
Dari Sa’id Jubair dan ‘Abdul Malik dari Atha’, kedua ulama tersebut berkata, “Apabila engkau menyerahkan harta kepada satu asnaf saja, maka yang demikian itu diperbolehkan dan sudah dianggap sah.”
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Apabila engkau telah menyerahkan zakat harta kepada satu asnaf saja diantara asnaf yang delapan, maka yang demikian itu sudah cukup. Tujuan firman Allah,
 Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, (at-Taubah: 60)
Dan seterusnya supaya tidak diberikan kepada selain golongan itu.”
Dari Hasan, ia berkata, “Zakat itu bagaikan tanda pengenal, dimana saja engaku menyerahkannya, maka itu sudah cukup bagimu.”
‘Ikramah berkata, “Berikanlah zakat harta itu secara merata di antara ‘ashnaf yang delapan.”
Dari Ibrahim, ia berkata, “Apabila zakat harta itu banyak, maka bagikanlah secara merata di antara ashnaf yang delapan. Apabila harta zakat itu sedikit, maka berikanlah kepada satu ashnaf saja.”
Serupa dengan hadits di atas.
Dari Ibrahim, ia berkata, “Tidaklah mereka itu meminta-minta melainkan mereka dalam keadaan miskin.”
Dari Ibnu Syihab, ia berkata, “Masyarakat yang paling sejahtera dan bahagia adalah paling banyak presentase orang kayanya. Masyrarakat yang paling melarat dan sengsara adalah yang paling banyak presentase orang miskinnya.”
Dari malik, ia berkata, “Permasalahan yang sama sekali tidak ada perbedaan pendapat di sisi kami adalah mengenai pembagian zakat yaitu pembagiannya adalah berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan penguasa. Oleh sebab itu, ashnaf yang terbanyak dan ashnaf yang paling membutuhkan, maka ia mesti didahulukan sesuai dengan kemashlahatan yang dilihatnya. Petugas zakat (amil) tidak mempunyai ketentuan yang pasti dan jelas.”
Abu Ubaid berkata, “Demikian juga pendapat Sufyan dan Ulama Irak bahwa apabila zakat itu telah diserahkan kepada satu asnaf daja diantaraashnaf yang delapan, maka yang demikian  itu telah mencukupi dan sudah boleh dikatakan sah.”
Sedangkan, ulama lainya berpendapat bahwa zakat itu mesti dibagi secara merata di antara ashnaf yang delapan. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah ‘Ikramah di dalam haditsnya telah kami sebutkan diatas.
Pembagian Harta Zakat pada Zaman Umar bin Abdul Aziz
Ibrahim dan Atha’ telah sependapat dengan ‘Ikramah, apabila zakat harta itu banyak. Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan Ibnu Syihab supaya menulis ketentuan pembagian zakat secara merata dan terpisah-pisah di antara para ashnaf yang delapan.
Dari ‘Uqail, ia berkata, “Ibnu Syihab telah menceritakan kepadaku bahwa Umar bin Abdul Aziz telah memerintahkan kepadanya supaya menulis ketentuan pembagian zakat sesuai dengan peraturan sunnah. Isi surat itu adalah, ‘Ini adalah ketentuan pembagian zakat dan penyaluranya, Insya Allah.Ada delapan penyaluran, di mana mereka masing-masing mendapatkan bagian. Pertama, satu bagian untuk fakir. Kedua, satu bagian untuk miskin.Ketiga, satu bagian untuk petugas zakat (Amil). Keempat, satu bagian orang ingin dijinakkan hatinya (Mu’allaf). Kelima, satu bagian untuk budak. Keenam,satu bagian untuk orang yang terhutang. Ketujuh, satu bagian untukfisabilillah. Kedelapan, satu bagian untuk Ibnu Sabil.’
Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Bagian Fakir: setengahnya diberikan kepada mereka yang berperang di jalan Allah untuk perang pertama yang dijalaninya, yaitu ketika diberikan bantuan kepada mereka. Dan, ini merupakan pemberian pertama yang mesti diamil oleh mereka. Kemudian mereka mendapat ketentuan bagian zakat. Bagaikan terbesar mereka adalah terletak di dalam harta fai’. Setengahnya lagi diberikan kepada fakir yang tidak ikut serta dalam penyerangan. Yaitu, seperti orang yang menderita sakit lumpuh dan orang yang tidak bisa ikut perang berdasarkan kepada alasan syar’i, maka boleh menerima zakat. Insya Allah.
Bagian miskin: setengahnya diberika kepada orang miskin yang menderita penyakit yang tidak bisa lagi berusaha dan bergerak dipermukaan bumi. Setengahnya lagi diberikan kepada orang miskin yang meminta-minta dan meminta makanan. Juga diserahkan kepada orang yang ditahan di dalam penjara yang tidak ada keluarga untuk membantunya. Insya Allah.
Bagian petugas zakat Amil: ini mesti dilihat kepada usahanya dan prstasinya dalam memungut zakat secara amanah dan iffah. Kemudian diberikan bagian zakat sesuai dengan tugas yang telah dijalankannya, dan sesuai dengan usahanya di dalam pengumpulan zakat. Lalu para anggotanya sama-sama memungut zakat, maka mereka juga diberi bagian zakat sesuai dengan usaha dan hasil pengumpulan zakat mereka. Barangkali yang demikian mesti mencapai jumlah standar, yaitu kurang lebih seperempat dari ketentuan bagian amil. Sisa dari bagian tersebut adalah tiga dari sepermpat, setelah para anggota amil mendapatkan bagianya. Kemudian sisanya diberika kepada psaukan cadangan[2] dan pasukan pertama yang menyasikan perang.[3] Insya Allah.
Bagian orang yang ingin dijinakkan hatinya (Mu’allaf): ini diberika kepada pasukan cadangan fakir miskin, yang mensyaratkan pemberian bayaran dan orang yang berperang tanap mensyaratkan memberikan bagian gaji, walaupun sebenarnya mereka adalah orang fakir. Bagian ini juga diberikan kepada orang-orang miskin yang hadir di dalam masjid, sedangkan mereka tidak ada gaji apa pun, orang yang tidak mempunyai bagian di dalam baitulmaal, dan orang yang tidak meminta-minta kepada orang lain. Insya Allah
Bagian Budak: ini terbagi kepada dua golongan. Setengah dibagika kepadamukatab yang mengaku masuk Islam. Mereka terbagi kepada beberapa tingkatan. Ahli fiqih Islam di antara mereka mendapat bagian yang lebih banyak. Sementara yang lainnya tetap mendapatkan bagian, tetapi kurang dari bagian ahli faqih diantara mereka. Dan, ini sesuai dengan peranan yang telah disumbangkan oleh masing-masing di antara mereka. Sedangkan, sisanya juga tetap diserahkan kepada mereka. Insya Allah. Setengahnya lagi adalah untuk biaya pembelian budak yang melaksanakan ibadah shalat, puasa, dan telah masuk agama Islam, baik lelaki maupun perempuan. Setelah itu, mereka mesti dimerdekakan. Insya Allah.
Bagian orang yang terhutang: ini terbagi kepada tiga golongan. Satu bagian di antara mereka diserahkan kepada orang yang tertimpa musibah di jalan Allah, sehingga hartanya, kekuatannya, dan budaknya habis. Sementara dia masih mempunyai utang yang belum bisa terbayar. Dan, dia tidak bisa memberikan nafkah kepada keluargannya melainkan dengan cara utang. Dua bagian diantara bagian orang uang terhutang diberikan kepada orang uang tertahan di dalam negeri dan ikut perang.  Sedangkan, ia adalah orang yang terutang dan dia telah tertimpa kefakiran. Dia juga telah mempunyai utang yang disebabkan oleh perbuatan masksiat di jalan Allah. Dia juga tidak tertuduh jahat didalam agamanya dan cara berutangnya. Insya Allah.
Bagian fisabilillah: seperempat dari bagian ini diberika kepada sebagian golongan ini. Seperempatnya lagi darinya diberikan kepada pasukan fakir cadangan yang mensyaratkan bagian zakat. Sebagiannya lagi diserahkan kepada penjaga perbatasan apabila mereka memerlukannya. Dan, dia pada saat itu adalah pejuang dijalan Allah. Insya Allah.
Bagian Ibnu Sabil: zakat ini dibagiankan pada setiap penghuni di pinggir jalan sesuai dengan kadar orang yang melintasinya dan oerng uang melewatinya. Ia juga diberikan kepada setiap seseorang yang sedang mengadakan perjalanan, yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga untuk dijadikan sebagai tempat perlindungannya. Lalu dia boleh memakan bagian zakat itu, sehingga ia menemukan rumah yang dituju atau sehngga ia menemukan keperluannya, ia mesti diletakkan di tempat-tempat keramaian dan diamanahkan kepada orang yang terpercaya, dimana apabila ada setiapIbnu Sabil yang lewat, maka mereka memberika perlindungan kepadanya, memberikan hidangan makanan, dan mengembala tungangannya, sehingga habis bekal yang dimilikinya. Insya Allah.
Abu Ubaid berkata, “Kemudian Umar bin Abdul Aziz menyebutka mengenai zakat biji-bijian, buah-buahan, unta, sapi, dan kambing dalam sebuah hadits yang sangat panjang.”
Abu Ubaid berkata, “Ini adalah keterangan mengenai penaluran zakat, apabila dibagikan secara merata dianatar seluruh ashnaf yang delapan. Ini adalah cara pembagian zakat bagi orang yang mampu melakukannya. Akan tetapi, saya berpendapat bahwa cara pembagian zakat seperti ini tidaklah diwajibkan melainkan kepada pemimpin yang mana zakat kaum Muslimin telah melimpah ruah di sisinya. Pemimpin mesti membagikan zakat harta tersebut kepada seluruh ashnaf, sebab ini merupakan hak yang mesti diterima mereka. Adapun orang yang tidak memilik banyak zakat harta selain dari kewajiaban zakat hartanya sendiri saja, apabila ia memberika zakatnya kepada sebagianashnaf saja, maka yang demikian itu sudah dibolehkan dan sudah dianggap sah. Ini berdasarkan kepada pendapat ulama yang telah kami sebutkan di atas.”
Landasan hukum bahwa membagikan zakat hanya kepada sebagianashnaf saja sudah dibolehkan adalah berdasarkan kepada hadits yang telah diriwayatkan dari Rasulullah, ketika beliau menerangkan mengenai zakat. Beliau bersabda, ”Zakat mesti diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian deiserahkan kepada orang-orang miskin diantara mereka.” Disini Rasulullah tidak menyebutkan banyak ashnaf, tetapi beliau hanya menyebutkan satu golongan saja, yaitu golongan fakir. Setelah itu, beliau memberikan zakat zakat kepada ashnaf kedua selain fakir, yaitu orang-orang yang dijinakkan hatinya saja (Mu’allaf)  yaitu al-Aqra’ bin Habis, ‘Unaiyah bin Hishn, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah, dan Zaid bin al-Khaili. Rasulullah telah membagikan dianatara mereka emas yang telah dikirimkan Ali dari hasil pungutan zakat harta penduduk Yaman. Kemudian setelah Rasulullah menerima harta yang lainnya, maka beliau menyerahkan kepada ashnaf yang ketiga, yaitu orang-orang yang terutang.
Diantara hal demikian adalah sabda Rasulullah kepada Qubaishah ibnul Mukhariq mengenai utang tanggung jawab pembayaran diyat  yang telah menjadi beban kepadanya, “Bertempat tinggalah engaku disisni, sehingga datang kepada kami zakat harta. Setelah harta zakat itu datang, adakalanya kami hanya memberikan bantuan kepadamu utnuk meringankan beban utang tersebut, dan adakalanya juga kami akan memberikannya bayaran secara penuh terhadap utang yang sedang engkau sandang itu.”
Seluruh hadits ini telah kami terangkan pada pembahasan bab-bab yang sebelumnya.
Oelh sebab itu, saya lihat bahwa Rasulullah telah membeikan zakat harta kepada sebagian ashnaf saja, tanpa harus memberikannya kepada seluruhashnaf secara merata.
Dengan demikian, seorang pemimpin diberikan kebebasan memilih antara membagikan zakat harta secara merata kepada seluruh ashnaf  yang delapan atau hanya memberikannya kepada sebagian ashnaf saja, apabila yang demikian itu berdasarkan kepada ijtihad kemaslahatan, tidak ada unsur nepotisme dan jauh dari penyelewengan kebenaran. Demikan juga selain pemimpin., bahkan ia memiliki kebebasan memilih yang lebih luas. Insya Allah.



[1] Ditulis dari kitab al-Amwal karya Abu Ubad’ al Qasim hal 694-700 teks terjemahan Indonesia
[2]  Al-Amdad adalah pasukan yang terdiri dari golongan fakir, yang hampir sama dengan pasukan cadangan.
[3] Al-Musytarithah adalah awal pasukan yang meyasikan peperangan. Dinamakan demikian disebabkan mereka telah memberitahukan diri mereka sebagai tanda yang pasti dapat dikenal secara langsung, apabila terdpat tanda itu. Oleh sebab itu, mereka adalah pemberi isyarat supaya bersiap-siap menghadpi kematian. Bisa juga maksudnya adalah pasukan yang telah mensyaratkan bayaran dalam perang. Wallahu a’lam

PEMBAGIAN ZAKAT DI NEGERINYA SENDIRI, MEMBAWANYA NEGERI LAINNYA, DAN SIAPAKAH ORANG YANG LEBIH UTAMA SEBAGAI PENERIMA ZAKAT TERSEBUT?

Diringkas [1]
Dari Ibrahim, ia berkata, ”Zakat harta dibagikan kepada orang yang bertempat tinggal di dekat air. Apabila tidak ditemukan orang yang berhak menerima zakat yang berdekatan dengan air, maka lihatlah kepada orang yang lebih dekat dengan air. Lalu bagikanlah zakat kepada mereka. Apabila tidak ditemukan orang yang tinggal dekat dengan air, maka serahkanlah kepada orang yang lebih dekat dengannya dan begitu sebaliknya.”
Umar bin Abdul Aziz telah mengirimkan kepada para amil zakatnya, yang isinya adalah, ”Serahkanlah separuh zakat harta itu (Abu Ubaid berkata, “Maksudny adalag serahkanlah dan berikanlah kepada para “Mustahak-nya.”) dan kirimkanlah separuh dari zakat itu kepadaku.” Kemudian dia mengirimkan surat lagi paa tahun berikutnya kepada petugas zakat, “Serahkanlah seluruh zakat harta itu kepada para mustahak-nya.”
Dari Ibrahim bahwa dia telah memakruhkan memindahkan zakat dari sebuah negeri ke negeri lainnya, kecuali dibagikan kepada keluarga kerabatnya.
Serupa dengan hadits di atas dengan sanad berikut: ia berkata, “Telah bercerita kepada kami Yazid, dari al-Mubarak bin Fadhalah, dari Hasan.”
Dari Farqad as-Sabakhi, ia berkata, ia berkata, “Saya pernah membawa zakat hartaku dengan tujuan aku akan membagikannya di Mekkah. Lalu aku berjumpa dengan Sa’id bin Jubair dan ia berkata, ‘Kembalikanlah zakat hartamu itu dan bagikanlah di negerimu saja.”
Dari Sufyan bin Sa’id bahwa zakat harta pernah dibawa dari ar-Ray ke Kufah. Kemudian Umar bin Abdul Aziz mengembalikannya lagi ke negeri ar-Ray.
Dari an-Nu’man bin Zubair, ia berkata, “Muhammad bin Yusuf pernah melantik Thawus sebagai petugas zakat di daerah Mikhlaf. Dia telah mengambil zakat dari orang-orang kaya dan kemudian dia menyerahkan kepada orang-orang fakir setempat. Setelah Thawus menyelesaikan tugasnya, maka Muhammad berkata kepada Thawus, ‘Perlihatkanlah hitungan hartamu. ‘Thawus menjawab, ‘Saya tidak mempunyai hitungan harta. Saya hanya bertugas memungut harta dari orang kaya, lalu saya memberikannya kembali kepada orang miskin.”
Dari Umar, dia pernah berkata di dalam wasiatnya, “Saya mewasiatkan kepada Khalifah setelahku seperti ini. Saya mewasiatkan kepada Khalifah setelahku seperti ini. Dan, saya mewasiatkan kepada Khalifah sesudahku supaya bersikap baik kepada para bangsa Arab Badui. Sebab, mereka adalah asal mula bangsa Arab dan kunsi utama Islam bahwa tetap dipungut zakat harta orang kaya di antara orang kaya di antara mereka dan kemudian diserahkan kembali kepada orang-orang fakir di antara mereka.”
Abu Ubaid berkata, “Sandaran utama di dalam berbagai hadits diatas adalah berdasarkan keterangan Sunnah Rasulullah ketika beliau memberikan wasiat kepada Mu’adz. Yaitu, ketika beliau mengutus Mu’adz supaya berangkat ke negeri Yaman, kemudian mengajak mereka agar masuk Islam dan menunakan ibadah shalat. Rasulullah bersabda, ‘Apabila mereka menerima tawaranmu itu, maka sampaikanlah atas hartamu, mereka, ‘Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat atas hartamu, yang mana ia dipungut dari orang-orang kaya diantara kalian dan kemudian ia diserahkan kepada orang-orang fakir di antara kalian.”
Serupa dengan Hadits diatas:
(((Arab)))
Dari Abu Abdullah ats-Tsaqafi, ia berkata, “Saya pernah mendengar Abu Ja’far Muhammad bin Ali bercerita bahwa Ali pernah berkata, ‘Sesungguhnya telah Allah mewajibkan orang-orang kaya suapaya memberikan harta mereka yang dapat mencukupi orang-orang fakir. Apabila mereka lapar, atau tidak berpakaian, atau sengsara, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan orang-orang kaya. Allah berhak menghisab dan menyiksa mereka.’”
Abu Ubaid berkata, “Para ulama zaman sekarang telah berijma dan sepakat menggunakan atsar-atsar  ini bahwa setiap penduduk negeri atau penghuni pinggiran sungai, maka mereka lebih berhak menerima zakat harta orang kaya diantara mereka. Selama masih ada di antara mereka orang-orang yang memerlukan seperti di dalam asnaf yang delapan, walaupun hanya satu ashnafsaja, apalagi lebih dari dua ashnaf. Walaupun pembagian zakat harta tersebut hanya diterima oleh satu orang saja, sehingga apabila petugas zakat pulang, maka dia tidak membawa apa-apa dari hasil pungutan zakatnya.”
Keterangan ini telah diperkuat lagi dengan beberapa hadits sebagai penafsirannya.
Dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Jallad emberitahukan kepadaku bahwa ‘Amru bin Syu’aib telah memberitahukan kepadanya bahwa Mu’adz bin Jabl masih tetap berdomisili di al-Jindi.[2] Tiba-tiba Rasulullah dan Abu Bakar wafat. Kemudian Mu’adz datang ke Madinah pada zaman pemerintahan Umar. Lalu Umar mengembalikannya lagi tugas Mu’adz ke semula di Yaman.
Lalu Mu’adz mengirimkan sepertiga harta masyarakat Yaman kepadanya. Kemudian Umar mengingkari yang demikian itu dan berkata, ‘Saya tidak mengutusmu sebagai pengumpul zakat dan jizyah. Akan tetapi, saya mengutusmu supaya engkau mengambil zakat harta orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian menyerahkan kepada orang-orang fakir di antara mereka.’ Mu’adz berkata, ‘Saya tidak mengirimkan sesuatu kepadamu. Akan tetapi, aku menemukan seseorang yang mengambil bagian zakat dan kemudian menyerahkan kepadamu.’
Tatkala pada tahun kedua, Mu’adz mengirimkan lagi setengah harta zakat yang telah diambilnya, lalu kedua sahabt itu saling menuding dan akhirnya Umar mengembalikan zakat yang telah dikirimkan kepadanya. Tatkala pada tahun ketiga, maka Mu’adz mengirimkan lagi bagian zakat secara keseluruhan. Akan tetapi, zakat itu tetap Umar kembalikan lagi ke yaman, seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Lalu Mu’adz berkata, ‘Saya tidak pernah menjumpai seseorang pun yang mengambil bagian zakatnya kepadaku.’”
Dari Sa’id ibnul Musayyab bahwa Umar telah mengutus Mu’adz sebagai pengumpul zakat atas bani Kilab atau bani Sa’ad bin Dzubyan. Lalu Mu’adz membagikan zakat tersebut di kalangan orang-orang fakir di antara mereka sampai tidak tersisa sedikitpun, sehingga dia pulang hanya membawa alas pelana tunggangannya. Maka istrinya berkata, “Manakah hasil pengumpulan zakat yang telah engkau pungut dari mereka, dan manakah hadiah musafirnya?” dia menjawab, “Saya hanya bersama Allah.” Istrinya berkata lagi, “Sebelumnya engkau adalah orang yang terpercaya di sisi Rasulullah dan di sisi Abu Bakar. Apakah Umar hanya mengutusmu sebagai pengawas (Dhaghithan)?”
Lalu Istrinya berdiri dan keluar dari jamaah wanita pada saat itu, dan dia juga mengajukan keluhan kepada Umar. Dan, Umar pun menerima keluhan itu. Kemudian Umar memanggil Mu’adz dan berkata, “Apakah saya mengutusmu hanya sebagai teman Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya tidak mempunyai alasan lain kepada istriku itu melainkan kata-kata yang telah aku kemukakan kepadanya.” Lalu Umar tertawa, dan dia memberikan Mu’adz hadiah. Umar berkata, “Senangkanlah istrimu dengan hadiah ini.:
Ibnu Juraij berkata, “Menurut saya, maksud perkataan Mu’adz,’Dhaghthan,’adalah oleh tuhannya.”
HUKUM MEMBAWA ZAKAT KELUAR DARI NEGERINYA
Dari Shihab bin Abdullah al-Khaulani, ia berkata, “Sa’ad berangkat ke Madinah sehingga menjumpai Umar. Dia adalah salah seorang sahabat dari Ya’la bin Umayyah. Umar berkata, ‘Engkau hendak pergi kemana?’ sa’ad menjawab, “Saya ingin berijtihad.’ Umar berkata, ‘Pulang sajalah engakau. Sebab, melakukan suatu kebenaran juga dinamakan Ijtihad yang baik.’ Tatkala Sa’ad akan pulang kedaerahnya, maka Umar berkata, ‘Apabila engkau melewati orang yang memilki harta, maka janganlah engkau melpakan kebaikan itu. Bagikanlah harta itu kepada tiga golongan. Kemudian pemilik harta itu disuruh mengambil 1/3-nya. Setelah ia mengambil 1/3 itu, maka sisanya serahkanlah kepada golongan ini dan golongan itu. ‘maksud dari golongan ini dan itu adalah sebagimana yang telah digmbarkan oleh Umar kepada Sa’ad. Sa’ad berkata, ‘Kami berangkat dan pergi bertujuan untuk memungut zakat, maka kami tidak akan pulang, kecuali dengan cambuk-cambuk kami.”
Abu Ubaid berkata, “Seluruh hadits yang telah disebutkan diatas telah menegaskan bahwa setiap masyarakat lebih berhak menerima zakat harta mereka sendiri sehingga mereka sampai kepada tahap tidak memerlukan lagi. Kami melihat memang mereka lebih berhak menerima zakat harta itu, bukan kepada masyarakat yang berada di kawasan lainnya. Akan tetapi, sunnah telah menerangkan mengenai kehormatan dan etika bertetangga dan juga kedekatan rumah orang yang berhak dan orang yang kaya raya.”
Apabila pengumpul zakat tidak mengetahui, lalu ia membawa zakat dari suatu negeri ke negeri lainnya, padahal negeri itu masih memiliki banyak penduduk yang fakir, maka pemimpin harus mengembalikan zakat harta itu ke negeri asal harta tersebut. Hal ini sebagaimana yang telah difatwakan Sa’id bin Jubair.
Akan tetapi, Ibrahim dan Hasan telah memberikan keringanan kepada seseorang yang ingin meyerahkan harta zakatnya kepada kaum kerabatnya, walaupun ia tinggal di negeri yang berbeda dengan kaum kerabatnya itu. Ini hanya diperbolehkan pada zakat harta milik pribadi saja. Adapun zakat milik orang banyak yang telah dipegang oleh pemimpin, maka tidak boleh diserhkan kepada daerah lain, walaupun di sana ada kerabatnya.
Sama dengan perkataan Ibrahi dan Hasan adalah hadits Abul ‘Aliyah.
Dari Abul ‘Aliyah, dia telah membawa zakat hartanya ke Madinah.
Abu Ubaid berkata, “Kami melihat bahwa tindakan Abul ‘Aliyah tersebut dikhususkan kepada kaum kerabatnya dan para mawali-nya saja.”
Apabila pemimpin tidak mengetahui kebutuhan penerima zakat sehingga ia membagikannya kepada orang uang berada di daerah lain atau menyuruh melakukan kebijakan yang demikian itu para petugas zakatnya, lalu dia mengetahui bahwa di daerahnya tersebut masih banyak orang fakir, maka telah diriwayatkan dari Umar Ibnul Khaththab bahwa pemimpin harus melipatgandakan pemberian zakat harta pada tahun berikutnya.
Dari Abul Aswad bin Abdulrahman, dia pernah mendengarkan Umair bin Salamah ad-Du’ali yang menceritakan bahwa ia pernah pergi bersama Umar ibnul Khaththab. Atau, Umar Ibnul Khaththab telah memberitahukan kepada Umair mengenai orang-orang yang bersama Umar. Walaupun Umair adalah seorang yag telah tua, ia berkata, “Ketika kami bersama-sama Umar di suatu siang, kami tidur siang dibawah pohon yang rindang. Tiba-tiba datang seorang wanita Arab Badui menghampiri para sahabat. Wanita itu pun mendekati Umar seraya berkata, “Sebenarnya saya adalah seorang wanita yang miskin sedangkan saya mempunyai banyak anak lelaki. Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab telah megutus Muhammad bin Maslamah untuk bertugas sebagai pengumpul zakat. Akan tetapi, dia tidak memberikan bagian zakat kepada kami. Barangkali engkau dapat memberikan bantuan kepada kami membicarakan permasalahan yang kami hadapi kepada Umar. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepadamu.’
Lalu Umar berteriak memanggil Yarfa’, ‘Panggilkanlah Muhammad bin Maslamah supaya menghadap kepadaku!’ Wanita itu berkata, “Sebenarnya jika engkau melaksanakan permohonanku ini, niscaya lebih baik demi menutupi keperluanku ini dibanding harus mendatangkan Muhammad bin Maslamah.’ Umar berkata, ‘Dia akan mengabulkan perminatanmu itu, Insya Allah.’ Lalu Yarfa’ menjumpai Muhammad bin Maslamah seraya berkata, “Umar telah memintamu untk segera menghadapnya.’
Muhammad bin Maslamah mendatangi Umar seraya berkata, ‘Salam sejahtera kepadamu, wahai Amirul Mukminin.’ Wanita yang mengeluh kepada Umar pun jadi malu. Umar berkata, ‘Demi Allah, tidak ada gunanya aku memilih orang terbaik di antara kalian. Bagaimana engkau akan menjawab apabila Allah menanyakan tentang nasib wanita ini?’ Lalu kadua mata Muhammad bin Maslamah meneteskan air matanya. Kemudian Umar berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi-Nya saw. kepada kita. Lalu kita membenarkanya dan mengikutinya. Setelah itu beliau pun mengaplikasikannya perintah Allah yang telah diperintahkan kepadanya. Kemudian beliau memberikan zakat kepada orang-orang yang berhak dari kalangan orang miskin. Sehingga, Allah mencabut nyawa beliau saw. saat beliau masih melaksanakan hal itu. Lalu Allah menggantikan kedudukan Rasulullah dengan Abu Bakar. Dia juga telah mengaplikaskan sunnah-sunnah Rasul sampai Allah mewafatkan dalam dia masih melaksanakan hal itu. Akan tetapi, tidak ada gunanya aku menggantikan kedudukan Abu Bakar. Akan tetapi, tidak ada gunanya aku memilih yang terbaik diantara kalian. Jika aku mengutusmu lagi, maka berikanlah kepadanya bagian zakat pada tahun ini dan tahun sebelumnya. Aku tidak tahu, barangkali aku tidak akan mengutusmu lagi.’
Kemudian Umar memberikan kepada wanita itu 1 ekor unta, gandum, dan minyak. Umar berkata, ‘Ambillah ini, sehingga engkau mendatangi kami di Khaibar. Sebab, kami ingin melihat unta ini.;
Lalu wanita itu pun mendatangi Umar tatkala di Khaibar, dan dia memberikan 2 ekor unta lagi kepada wanita itu. Umar berkata, ‘Ambillah pemberian ini, maka ini akan cukup sebagai bekalmu sehingga kedatangan Muhammad bin Maslamah nanti. Sebab, aku telah memerintahkan supaya pemberian hakmu pada tahun ini dan tahun sebelumnya.’”
Dari Yahya bin Sa’id, sama dengan isi hadits di atas. Namun dengan riwayat berbeda.
Abu Ubaid berkata, “Di samping hadits-hadits di atas juga telah didapati hadits-hadits lain yang menunjukkan adanya keringanan membawa zakat harta dari sebuah negeri ke neger yang lainnya. Yaitu seperti hadits Rasulullah ketika beliau berkata kepada Qubaishah ibnul Mukhariq mengenai utang pembayaratdiyat. Menetaplah engkau disini sehingga datang zakat harta. Setelah datangnya zakat harta nanti adakalanya kami hanya memberikan bantuan keringanan kepadamu, atau adakalanya juga kami akan membayar seluruh hutang bayaran diyat uang telah menjadi tanggung jawabmu.’ Dengan demikian, Rasulullah telah memberikan zakat harta Hijaz kepada Qubaishah, Rasululllah telah sendiri adalah penduduk Nijid. Dalam hadits diatas jelaslah bahwa beliau saw. telah membolehkan zakat penduduk Nijid kepada penduduk Hijaz dan begitu pula sebaliknya.”
Demikian juga hadits ‘Adi bin Hatim, ketika dia membawa zakat harta kaumnya kepada Ibnu Abu Dzubab. Umar telah mengutusnya setelah musim paceklik dan berkata, “Ambilah dua pembayaran zakat pada unta. Satu diantaranya dibagikan di kalangan mereka, sementara yang lainnya bawalah kepadaku.”
Demikian hadits Mu’adz, ketika dia berkata kepada penduduk Yaman dan pakaian yang biasa digunakan dalam sehari-hari, sebab aku memungut yang demikian itu darimu sebagai pengganti bayaran zakat. Sebab, yang demikian itu lebih memudahkan kepadamu dan lebih bermanfaat kepada orang-orang Muhajirin di Madinah.”
Abu Ubaid berkata, “Sebenarnya, pengganti bayaran zakat ini tidak diperbolehkan, terkecuali barang tersebut sudah tidak diperlukan lagi dan mereka sudah tidak membutuhkan untuk mengkomsumsinya, seperti yang telah kami sebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar dan Mu’adz.”
Dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah,
“Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, ‘Kelebihan (dari apa ang diperlukan)....’” (al-Baqarah: 219)
Ibnu Abbas berkata, “Maksud dari ayat diatas adalah yang lebih dari kebutuhan setelah mendapatkan kekayaan.”


[1] Kitab Al-Amwal atau Eklopedia Keuangan Publik Karya Abu ‘Ubaid al-Qasim, bab Jenis Harta yang Dikelola Oleh Pemimpin Berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah, hal terjemahan 715-723
[2] Al-Jindi adalah sebuah perkotaan di Yaman. Dan, juga terdapat satu wilayah yang masih menggunkan nama seperti ini hingga sekarang. Di Yaman terdapat tiga wilayah besar, yaitu al-jindi, Shana’a, dan Hadramaut.
 

Blogger news

Most Reading